Surat Untuk Laila
Oleh: Ichsan Muttain
Jujur, aku tak tahu bagaimana harus memulai menuliskan surat ini. Bukan karena aku tak tahu apa yang hendak kusampaikan. Tapi aku ragu - takut - kau salah mengartikan.
Yang pasti, melalui surat ini aku tak bermaksud memintamu kembali. Juga tidak menuntut penjelasan mengapa kau pergi. Lebih tepatnya, mengapa kau melarikan diri.
Sebab aku mengerti, itu adalah caramu untuk menentramkan hatimu sendiri. Sebab aku tahu, kau tak ingin ada yang makin tersakiti.
Ketika kau membaca surat ini, mungkin kau bertanya, "jika tak mengharapkan penjelasan atau aku kembali padanya, lantas apa? Apakah dia ingin mencaci maki? Atau sekedar membuat hatiku makin tersiksa. Makin merasa berdosa?"
Jika benar pertanyaan itu terlintas di benakmu, aku pastikan, bukan itu yang ku mau. Tak mungkin aku berusaha menyakitimu, apalagi memakimu. Bagaimanapun, kau pernah mengisi kekosongan hatiku. Pernah menjadi inspirasi atas berlarik-larik puisi, prosa dan cerita yang lahir dari tanganku. Pernah menjadi seseorang yang kuharap bisa menjadi tempatku bersandar ketika gelisah dan lelah menyergapku. Pernah menjadi wanita yang kuharap melahirkan anak-anak dari benihku. Mendidik mereka dengan cinta, hingga mereka memahami arti hidup yang sebenarnya.
"Lalu apa maunya?" Mungkin pertanyaan itu muncul lagi setelah kata-kataku yang tak langsung mengatakan tujuannya. Tapi percayalah, kutuliskan seperti ini agar kau mengerti dan tidak ada kesalahpahaman setelah khatam kau membaca.
Kadang -berkali-kali- aku bertanya pada diri sendiri, benarkah kau wanita yang kucintai? Jawabannya selalu sama, aku tak mengetahuinya. Hanya yang pasti, aku tahu kau pernah sangat kuharapkan mendampingiku mengakhiri cerita di kehidupan.
Dan harus jujur ku akui, aku belum bisa melupakanmu. Dan aku yakin, selamanya takkan bisa. Kecuali jika aku menderita alzaimer atau amnesia. Tapi kuyakinkan sekali lagi, bukan berarti aku masih mengaharapkanmu.
Saat ini, bagiku, kamu adalah kenangan indah. Ya! mungkin ada rasa yang mengganjal dan membuatku kecewa. Tapi bukan karena aku pernah mengenal lalu menyayangimu. Bukan karena aku pernah menaruh harap kau menjadi sandaran hatiku. Aku kecewa karena caramu berlalu. Begitu saja, tanpa kata-kata untuk memperjelas semuanya.
Bagimu pergi tanpa permisi mungkin cara terbaik agar hatimu tak makin terluka. Tidak semakin dihinggapi rasa bersalah pada dia *lelaki yang kini singgah di hatimu dan kau harapkan menjadi imammu. lelaki yang antara dia dan dirimu sudah mengikat janji untuk saling setia, saling percaya dan sepakat untuk melupakan massa lalu yang membelenggu. lelaki yang lebih sempurna mendampingimu, bukan karena paras, kekayaan atau pikiran gilanya. tapi karena hati lelaki itu lebih senada, lebih seirama dengan apa yang hatimu rasa. lelaki yang bisa menjawab ragumu pada dunia. lelaki yang membuatmu mampu menatap massa depan dengan rasa aman.
Tapi pernahkah kau berfikir tentang perasaan orang yang kau tinggalkan tanpa kata perpisahan? Bagaimana jika ternyata ia terus berharap kau kembali padanya karena mengira kepergianmu yang tanpa kabar berita hanyalah kesalahan teknis semata? Beruntungnya, hanya sehari atau dua saja aku terjebak dalam pemikiran itu. Lalu aku menemukan realita sehingga hati ini ikhlas melepasmu bersanding denganya. bahkan berharap yang terbaik bagi kalian berdua. sebab, aku pernah berkata, "jika suatu hari nanti kau menemukan elaki yang lebih baik dariku, aku akan merelakanmu bersamanya." Sebab bagiku, cinta itu tak harus memiliki. sebab bagiku, cinta itu seperti udara. setiap saat kita menghirup dan menghembuskannya. setiap saat kita membutuhkannya untuk mengahangatkan setiap tetes darah yang mengalir di tubuh kita. kita membutuhkannya untuk hidup, tapi kita takkan pernah bisa menguasainya.
*ya! begitulah caraku memahami cinta sehingga berkali-kali aku berani berkata, "i love you."* bukan untuk menguasaimu, hanya ingin memastikan jika kita menghirup udara (cinta) yang sama. namun semua sudah terjawab beberapa hari yang lalu. kau bukan berasal dari jenis yang sama denganku.
aku tak tahu apa yang kau pikirkan kini. setelah kau baca kata-kata yang belum juga sampai pada tujuannya. mungkin kau mulai tertawa muak. mungkin kau mulai benci. atau mungkin kau mulai menangis dan menyesal pernah memberi harapan pada lelaki ini. tapi kuharap tidak. aku berdoa semoga kau membaca tulisan ini seperti sebuah cerita saja. cerita tentang bagaimana kehidupan ini tak selalu seperti yang kita duga. kehidupan ini terlalu kaya, terlalu luas untuk kita bisa memahami seutuhnya.
ingin kuyakinkan padamu, bahwa perpisahaan ini bukanlah salahkku. bukan pula salahmu. perpisahaan ini adalah sesuatu yang harus terjadi. semua hanya masalah waktu. sebab, mungkkin saja jika kau tak meninggalkanku, aku yang suatu saat akan meninggalkanmu. aku tak tahu. yang pasti, apa yang terjadi saat ini sudah ditakdirkan tuhan untuk kita jalani. sudah digaariskan sebelum kita dilahirkan di dunia ini. hanya saja, Tuhan tetap merahasiakannya sebagai misteri yang harus kita ungkap untuk menguji keimanan yanng tertanam di hati.
aku juga takkan menyalahkanmu karena kau pernah mengetuk hatiku dengan kata-kata ketika aku masih berusaha sembuh dari luka. dengan setengah hati, ku buka pintu hatiku lalu mengundangmu masuk agar kita bisa bicara. lalu kita-pun asyik saling bertukar cerita sehingga aku merasa jika kau membuatku jatuh cinta.
saat itu (hingga beberapa hari lalu, atau mungkin hingga kutuliskan surat ini), hari-hariku selalu penuh denganmu. bahkan ketika aku belum mengenal siapa dirimu yang sebenarnya. bahkan ketika kau tak berusaha membuka jati dirimu yang sebenarnya. kepadaku kau selalu mengaku sebagai sekuntum mawar berduri yang suatu saat mungkin akan mengoyak uluran tanganku ini. tapi aku tak peduli, sebab saat itu, aku menganggapmu sebagai setangkai melati. seperti serangkaian kelopak putih dari semak-semak yang saban hari menebarkan aroma wangi saat aku menikmati kesendirianku di beranda rumah. aku melihatmu seperti melati, yang begitu putih, begitu bersahaja tergelantung atau menguncup di ranting yang lemah.
Lalu entah mengapa, aku mulai sering mengeluarkan kata-kata berbisa. kata-kata yang membangkitkan syahwat. kata-kata yang paling dikenal manusia sejak zaman purba. tak cukup sampai disitu. seolah aku mulai kehilangan nalar dan rasa malu, kulakukan semua yang kau pinta tanpa pernah terpikir itu hanya akan merusakmu. *mungkin selama mengenalmu, hanya itulah yang membuatku menyesal. hingga akhirnya aku berusaha mengambil jarak. bukan untuk menghindarimu. bukan itu. hanya untuk menjaga kita dari hal-hal yang tak semestinya. aku menjadi lebih suka berbicara tentang kerja, tentang puisi dan segala omong kosong yang mungkin hanya hidup dalam kepalaku sendiri.
Perlahan kita mulai semakin jarang berbicara. kata-kata yang kukirim hanya kau balas sekenanya. telephon? aku sengaja menghindarinya. Bukan karena takut besarnya biaya, tapi aku takut kita makin terlena dengan perbincangan yang belum saatnya. Dan saat kita mulai jarang berbicara itulah aku meraasakan bahwa ada yang berbeda pada dirimu. aku mulai mengetahui siapa namamu yang sebenarnya. aku mulai sering jengah dengan kata-kata yang sering kau tulis di dinding facebook-mu. seolah kau mengobralkan hal-hal yang kuanggap privasi (syahwat) sebagai jajanan yang ditawarkan di pinggir jalan. tapi itu tak membuatku membencimu. tak membuat cintaku luntur atau berkurang padamu. hanya semakin membuatku ingin lebih dekat mengenalmu.
Saat itu, bagiku kamu adalah seorang nelayan yang sedang bingung mencari arah. rasi bintang yang kau harap muncul untuk membantumu mengenal selatan dan tenggara meredup karena cahaya purnama. Lalu, yang bisa kulakukan hanya berusaha menjadi tiupan angin. Agar aku bisa mendorong layar yang kau kembangkan menuju 'rumpon', tempat dimana ikan-ikan berkumpul mencari makan saat musim angin selatan.tapi entahlah, mungkin hembusanku terlalu lemah hingga tak bisa kau rasakan. hingga ketika kau melihat secercah sinar gemintang yang kau kenal, kau merasa hembusan angin yang lemah itu tak lagi kaau butuhkan. perlahan kau angkat sauhmu lalu mendayung kearah yang sebenarnya kau tuju. arah yang belum pernah kau ceritakan padaku.
Saat itu adalah waktu dimana kau makin asik bertukar pesan dengan lelaki selain diriku. lalu aku mulai sering mengatakan, "aku cemburu." Meski ternyata bukan lelaki yang kusangka itu yang akhirnya mencuri hatimu. *Ah! jangan salah mengartikan kata-kata 'mencuri'. yang kumaksudkan bukan mencuri hatimu dariku, tetapi mencuri dari dirimu sendiri. sebab, aku tak pernah benar-benar memiliki hatimu.
Tak terasa, Ramadhan 1435 hijriah tiba. artinya, setahun sudah aku merasa mengenalmu. menganggapku sebagai kekasihku. aku ingat puasa lalu, beberapa minggu setelah aku mengenal nama palsumu. kau memintaku datang menemui ke dua orang tuamu. dan aku mengiyakannya. namun saat itu ternyata kau taak jadi pulang, hingga luntur keberanianku untuk memenuhi janji yang kunyatakan.
lalu jelang lebaran kemarin, aku begitu gembira mengetahui kau akan pulang. Bahkan kau berjanji akan berkunjung ke kotaku dan kau memintaku menemanimu orang tuamu. namun sebelum itu, sebelum aku memutuskan untuk mengunjungimu, aku memberikan sebuah pertanyaan untuk kepastian. "masihkan ada aku di hatimu?" "maukah engkau menjadi istriku?" dua pertanyaan yang kau jawab dengan gamang. dan naluriku berkata, ada yang lain bertahta di hatimu saat itu.
namun kau ragu, harus memilih antara dia atau aku. atau mungkin lelaaki lainnya yang telah mengutarakan rasa padamu. anehnya, entah mengapa? aku tak peduli. ketika sebuah pesanmu kubaca usai lebaran lalu. pesan yang mengharap kedatanganku, aku tiba-tiba yakin aku harus menemuimu. entah untuk apa?
dan ketika sebuah tiket kereta ada di tanganku. melalui pesan singkat kau berkata, "waduh mas,,telat sudah,,hari ini aq skeluarga maw ke sby ada acara keluarga,kmungkinan menginap,dan hari rabu aq sudah balik singapura,,gimana??maaf ya??insyaAllah thn dpn aq kmbali pulang kalau masih ada umur panjang boleh ita bersua,skali lg maaf"
Saat itu, meski hatiku kecewa, aku hanya bisa berkata, "oowh, ya sudah kalau gitu. kalau ada takdir pasti ketemu." memangnya apa lagi yang bisa ku lakukan selain menerimanya? pikirku.
bagaimanapun, dia memiliki keluarga yang bertahun-tahun tak dijumpai dan pasti ingin menghabiskan waktu yang ada untuk bersama. bagaimanapun, ia memiliki pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan harus dilakukan.
Bukankah dia juga mimpi yang mungkin hanya bisa diraihnya dengan cara itu. 'kuliah dan menjadi penulis fiksi'. setidaknya itu yang pernah dia ceritakan padaku).
aku hanya bisa memaklumi dan mencoba memahami agar ia bisa mendapatkan kebahagiannya. untuk saat ini dan massa depannya.
saat itu, tak pernah sedikitpun terlintas di kepalaku jika kata terlambat dimaksudkan untuk kesempatanku hadir dalam hidupmu. karena ternyata, acara keluarga itu adalah acara pertunanganmu dengan lelaki yang kini menjadi satu-satunya cintamu. aku baru menyadarinya pada seuatu sore ketika tanpa sengaja kulihat foto mesramu bersama dia.apakah aku kecewa? tentu saja. apakah aku terluka? jangan lagi ditanya. tapi aku merelakannya. aku bahkan berharap kau dan dia bisa menjalani massa depan dengan bahagia.
kekecewaanku hanya satu, mengapa kau tak berbicara apa adanya dan berlalu tanpa kata-kata. tahukah kamu, ketika aku kehilangan kontak denganmu, saat kau mulai memblokir akun facebookku. Saat kau tak mau membaca pesan what'sAap-ku, hatiku sangat tersiksa. Bukan karena akukehilangan cintamu, taapi aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Setiap hari aku membaca berita tentang kejadian buruk yang menimpa sejumlah pekerja wanita di tempatmu selama ini bekerja. pengaruh berita dan hilangnya jejakmu secara tiba-tiba membuatku menjadi setengah gila. tapi untunglah, perlahan kebenaran mulai terbuka. aku merasa lega kau baik-baik saja.
kini yng tertinggal hanya rasa kecewa. mengapa kau harus lari bersembunyi. padahal kita tetaap bisa menjadi teman biasa. sebagai lelaki aku tak mungkin mencintai wanita yang mencintai lelaki lain. tapi sebagai lelaki aku tak mungkin membenci wanita yang pernah kusayangi. bahkan, aku ingin menjadi sahabatnya. mendengarkan cerita indah tentang cerita cintanya dengan lelaki itu. that's all. apakah harapanku ini berlebihan? entahlah, hanya kau yang bisa menjawabnya.
Aku harap kau tidak akan pernah meminta maaf padaku. karena bagiku, ini bukan kesalahanmu. bukan juga kesalahanku. ini hanyalah masalah takdir yang harus dijawab oleh sang waktu. kekecewaan memang masih mengendap di hatiku, tapi kau bisa menghilangkannya jika kau menjadi temanku dan menceritakan kisahmu dengannya padaku. meskipun cerita itu palsu.
akhirnya, kuucapkan terimakasih karena kau pernah menjadi pelita hatiku. pernah menjadi alasan mengapa aku harus giat bekerja. pernah menjadi inspirasi atas lahirnya kata-kata yang sebelumnya hanya ada dikepala tanpa bisa terbaca karena aku tak mampu merumuskannya. terimakasih sudah pernah membuatku merasa menjadi manusia yang bisa mendengarkan kata hati orang lain. terimakasih sudah membuatku belajar mengenal simpati dan empati. terimakasih sudah membimbingku memaahami, bahwa dalam hidup ini yang ada bukan hanya benar dan salah, tapi juga tentang menjaga perasaan orang yang kita sayangi.
Jujur, aku tak tahu bagaimana harus memulai menuliskan surat ini. Bukan karena aku tak tahu apa yang hendak kusampaikan. Tapi aku ragu - takut - kau salah mengartikan.
Yang pasti, melalui surat ini aku tak bermaksud memintamu kembali. Juga tidak menuntut penjelasan mengapa kau pergi. Lebih tepatnya, mengapa kau melarikan diri.
Sebab aku mengerti, itu adalah caramu untuk menentramkan hatimu sendiri. Sebab aku tahu, kau tak ingin ada yang makin tersakiti.
Ketika kau membaca surat ini, mungkin kau bertanya, "jika tak mengharapkan penjelasan atau aku kembali padanya, lantas apa? Apakah dia ingin mencaci maki? Atau sekedar membuat hatiku makin tersiksa. Makin merasa berdosa?"
Jika benar pertanyaan itu terlintas di benakmu, aku pastikan, bukan itu yang ku mau. Tak mungkin aku berusaha menyakitimu, apalagi memakimu. Bagaimanapun, kau pernah mengisi kekosongan hatiku. Pernah menjadi inspirasi atas berlarik-larik puisi, prosa dan cerita yang lahir dari tanganku. Pernah menjadi seseorang yang kuharap bisa menjadi tempatku bersandar ketika gelisah dan lelah menyergapku. Pernah menjadi wanita yang kuharap melahirkan anak-anak dari benihku. Mendidik mereka dengan cinta, hingga mereka memahami arti hidup yang sebenarnya.
"Lalu apa maunya?" Mungkin pertanyaan itu muncul lagi setelah kata-kataku yang tak langsung mengatakan tujuannya. Tapi percayalah, kutuliskan seperti ini agar kau mengerti dan tidak ada kesalahpahaman setelah khatam kau membaca.
Kadang -berkali-kali- aku bertanya pada diri sendiri, benarkah kau wanita yang kucintai? Jawabannya selalu sama, aku tak mengetahuinya. Hanya yang pasti, aku tahu kau pernah sangat kuharapkan mendampingiku mengakhiri cerita di kehidupan.
Dan harus jujur ku akui, aku belum bisa melupakanmu. Dan aku yakin, selamanya takkan bisa. Kecuali jika aku menderita alzaimer atau amnesia. Tapi kuyakinkan sekali lagi, bukan berarti aku masih mengaharapkanmu.
Saat ini, bagiku, kamu adalah kenangan indah. Ya! mungkin ada rasa yang mengganjal dan membuatku kecewa. Tapi bukan karena aku pernah mengenal lalu menyayangimu. Bukan karena aku pernah menaruh harap kau menjadi sandaran hatiku. Aku kecewa karena caramu berlalu. Begitu saja, tanpa kata-kata untuk memperjelas semuanya.
Bagimu pergi tanpa permisi mungkin cara terbaik agar hatimu tak makin terluka. Tidak semakin dihinggapi rasa bersalah pada dia *lelaki yang kini singgah di hatimu dan kau harapkan menjadi imammu. lelaki yang antara dia dan dirimu sudah mengikat janji untuk saling setia, saling percaya dan sepakat untuk melupakan massa lalu yang membelenggu. lelaki yang lebih sempurna mendampingimu, bukan karena paras, kekayaan atau pikiran gilanya. tapi karena hati lelaki itu lebih senada, lebih seirama dengan apa yang hatimu rasa. lelaki yang bisa menjawab ragumu pada dunia. lelaki yang membuatmu mampu menatap massa depan dengan rasa aman.
Tapi pernahkah kau berfikir tentang perasaan orang yang kau tinggalkan tanpa kata perpisahan? Bagaimana jika ternyata ia terus berharap kau kembali padanya karena mengira kepergianmu yang tanpa kabar berita hanyalah kesalahan teknis semata? Beruntungnya, hanya sehari atau dua saja aku terjebak dalam pemikiran itu. Lalu aku menemukan realita sehingga hati ini ikhlas melepasmu bersanding denganya. bahkan berharap yang terbaik bagi kalian berdua. sebab, aku pernah berkata, "jika suatu hari nanti kau menemukan elaki yang lebih baik dariku, aku akan merelakanmu bersamanya." Sebab bagiku, cinta itu tak harus memiliki. sebab bagiku, cinta itu seperti udara. setiap saat kita menghirup dan menghembuskannya. setiap saat kita membutuhkannya untuk mengahangatkan setiap tetes darah yang mengalir di tubuh kita. kita membutuhkannya untuk hidup, tapi kita takkan pernah bisa menguasainya.
*ya! begitulah caraku memahami cinta sehingga berkali-kali aku berani berkata, "i love you."* bukan untuk menguasaimu, hanya ingin memastikan jika kita menghirup udara (cinta) yang sama. namun semua sudah terjawab beberapa hari yang lalu. kau bukan berasal dari jenis yang sama denganku.
aku tak tahu apa yang kau pikirkan kini. setelah kau baca kata-kata yang belum juga sampai pada tujuannya. mungkin kau mulai tertawa muak. mungkin kau mulai benci. atau mungkin kau mulai menangis dan menyesal pernah memberi harapan pada lelaki ini. tapi kuharap tidak. aku berdoa semoga kau membaca tulisan ini seperti sebuah cerita saja. cerita tentang bagaimana kehidupan ini tak selalu seperti yang kita duga. kehidupan ini terlalu kaya, terlalu luas untuk kita bisa memahami seutuhnya.
ingin kuyakinkan padamu, bahwa perpisahaan ini bukanlah salahkku. bukan pula salahmu. perpisahaan ini adalah sesuatu yang harus terjadi. semua hanya masalah waktu. sebab, mungkkin saja jika kau tak meninggalkanku, aku yang suatu saat akan meninggalkanmu. aku tak tahu. yang pasti, apa yang terjadi saat ini sudah ditakdirkan tuhan untuk kita jalani. sudah digaariskan sebelum kita dilahirkan di dunia ini. hanya saja, Tuhan tetap merahasiakannya sebagai misteri yang harus kita ungkap untuk menguji keimanan yanng tertanam di hati.
aku juga takkan menyalahkanmu karena kau pernah mengetuk hatiku dengan kata-kata ketika aku masih berusaha sembuh dari luka. dengan setengah hati, ku buka pintu hatiku lalu mengundangmu masuk agar kita bisa bicara. lalu kita-pun asyik saling bertukar cerita sehingga aku merasa jika kau membuatku jatuh cinta.
saat itu (hingga beberapa hari lalu, atau mungkin hingga kutuliskan surat ini), hari-hariku selalu penuh denganmu. bahkan ketika aku belum mengenal siapa dirimu yang sebenarnya. bahkan ketika kau tak berusaha membuka jati dirimu yang sebenarnya. kepadaku kau selalu mengaku sebagai sekuntum mawar berduri yang suatu saat mungkin akan mengoyak uluran tanganku ini. tapi aku tak peduli, sebab saat itu, aku menganggapmu sebagai setangkai melati. seperti serangkaian kelopak putih dari semak-semak yang saban hari menebarkan aroma wangi saat aku menikmati kesendirianku di beranda rumah. aku melihatmu seperti melati, yang begitu putih, begitu bersahaja tergelantung atau menguncup di ranting yang lemah.
Lalu entah mengapa, aku mulai sering mengeluarkan kata-kata berbisa. kata-kata yang membangkitkan syahwat. kata-kata yang paling dikenal manusia sejak zaman purba. tak cukup sampai disitu. seolah aku mulai kehilangan nalar dan rasa malu, kulakukan semua yang kau pinta tanpa pernah terpikir itu hanya akan merusakmu. *mungkin selama mengenalmu, hanya itulah yang membuatku menyesal. hingga akhirnya aku berusaha mengambil jarak. bukan untuk menghindarimu. bukan itu. hanya untuk menjaga kita dari hal-hal yang tak semestinya. aku menjadi lebih suka berbicara tentang kerja, tentang puisi dan segala omong kosong yang mungkin hanya hidup dalam kepalaku sendiri.
Perlahan kita mulai semakin jarang berbicara. kata-kata yang kukirim hanya kau balas sekenanya. telephon? aku sengaja menghindarinya. Bukan karena takut besarnya biaya, tapi aku takut kita makin terlena dengan perbincangan yang belum saatnya. Dan saat kita mulai jarang berbicara itulah aku meraasakan bahwa ada yang berbeda pada dirimu. aku mulai mengetahui siapa namamu yang sebenarnya. aku mulai sering jengah dengan kata-kata yang sering kau tulis di dinding facebook-mu. seolah kau mengobralkan hal-hal yang kuanggap privasi (syahwat) sebagai jajanan yang ditawarkan di pinggir jalan. tapi itu tak membuatku membencimu. tak membuat cintaku luntur atau berkurang padamu. hanya semakin membuatku ingin lebih dekat mengenalmu.
Saat itu, bagiku kamu adalah seorang nelayan yang sedang bingung mencari arah. rasi bintang yang kau harap muncul untuk membantumu mengenal selatan dan tenggara meredup karena cahaya purnama. Lalu, yang bisa kulakukan hanya berusaha menjadi tiupan angin. Agar aku bisa mendorong layar yang kau kembangkan menuju 'rumpon', tempat dimana ikan-ikan berkumpul mencari makan saat musim angin selatan.tapi entahlah, mungkin hembusanku terlalu lemah hingga tak bisa kau rasakan. hingga ketika kau melihat secercah sinar gemintang yang kau kenal, kau merasa hembusan angin yang lemah itu tak lagi kaau butuhkan. perlahan kau angkat sauhmu lalu mendayung kearah yang sebenarnya kau tuju. arah yang belum pernah kau ceritakan padaku.
Saat itu adalah waktu dimana kau makin asik bertukar pesan dengan lelaki selain diriku. lalu aku mulai sering mengatakan, "aku cemburu." Meski ternyata bukan lelaki yang kusangka itu yang akhirnya mencuri hatimu. *Ah! jangan salah mengartikan kata-kata 'mencuri'. yang kumaksudkan bukan mencuri hatimu dariku, tetapi mencuri dari dirimu sendiri. sebab, aku tak pernah benar-benar memiliki hatimu.
Tak terasa, Ramadhan 1435 hijriah tiba. artinya, setahun sudah aku merasa mengenalmu. menganggapku sebagai kekasihku. aku ingat puasa lalu, beberapa minggu setelah aku mengenal nama palsumu. kau memintaku datang menemui ke dua orang tuamu. dan aku mengiyakannya. namun saat itu ternyata kau taak jadi pulang, hingga luntur keberanianku untuk memenuhi janji yang kunyatakan.
lalu jelang lebaran kemarin, aku begitu gembira mengetahui kau akan pulang. Bahkan kau berjanji akan berkunjung ke kotaku dan kau memintaku menemanimu orang tuamu. namun sebelum itu, sebelum aku memutuskan untuk mengunjungimu, aku memberikan sebuah pertanyaan untuk kepastian. "masihkan ada aku di hatimu?" "maukah engkau menjadi istriku?" dua pertanyaan yang kau jawab dengan gamang. dan naluriku berkata, ada yang lain bertahta di hatimu saat itu.
namun kau ragu, harus memilih antara dia atau aku. atau mungkin lelaaki lainnya yang telah mengutarakan rasa padamu. anehnya, entah mengapa? aku tak peduli. ketika sebuah pesanmu kubaca usai lebaran lalu. pesan yang mengharap kedatanganku, aku tiba-tiba yakin aku harus menemuimu. entah untuk apa?
dan ketika sebuah tiket kereta ada di tanganku. melalui pesan singkat kau berkata, "waduh mas,,telat sudah,,hari ini aq skeluarga maw ke sby ada acara keluarga,kmungkinan menginap,dan hari rabu aq sudah balik singapura,,gimana??maaf ya??insyaAllah thn dpn aq kmbali pulang kalau masih ada umur panjang boleh ita bersua,skali lg maaf"
Saat itu, meski hatiku kecewa, aku hanya bisa berkata, "oowh, ya sudah kalau gitu. kalau ada takdir pasti ketemu." memangnya apa lagi yang bisa ku lakukan selain menerimanya? pikirku.
bagaimanapun, dia memiliki keluarga yang bertahun-tahun tak dijumpai dan pasti ingin menghabiskan waktu yang ada untuk bersama. bagaimanapun, ia memiliki pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan harus dilakukan.
Bukankah dia juga mimpi yang mungkin hanya bisa diraihnya dengan cara itu. 'kuliah dan menjadi penulis fiksi'. setidaknya itu yang pernah dia ceritakan padaku).
aku hanya bisa memaklumi dan mencoba memahami agar ia bisa mendapatkan kebahagiannya. untuk saat ini dan massa depannya.
saat itu, tak pernah sedikitpun terlintas di kepalaku jika kata terlambat dimaksudkan untuk kesempatanku hadir dalam hidupmu. karena ternyata, acara keluarga itu adalah acara pertunanganmu dengan lelaki yang kini menjadi satu-satunya cintamu. aku baru menyadarinya pada seuatu sore ketika tanpa sengaja kulihat foto mesramu bersama dia.apakah aku kecewa? tentu saja. apakah aku terluka? jangan lagi ditanya. tapi aku merelakannya. aku bahkan berharap kau dan dia bisa menjalani massa depan dengan bahagia.
kekecewaanku hanya satu, mengapa kau tak berbicara apa adanya dan berlalu tanpa kata-kata. tahukah kamu, ketika aku kehilangan kontak denganmu, saat kau mulai memblokir akun facebookku. Saat kau tak mau membaca pesan what'sAap-ku, hatiku sangat tersiksa. Bukan karena akukehilangan cintamu, taapi aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Setiap hari aku membaca berita tentang kejadian buruk yang menimpa sejumlah pekerja wanita di tempatmu selama ini bekerja. pengaruh berita dan hilangnya jejakmu secara tiba-tiba membuatku menjadi setengah gila. tapi untunglah, perlahan kebenaran mulai terbuka. aku merasa lega kau baik-baik saja.
kini yng tertinggal hanya rasa kecewa. mengapa kau harus lari bersembunyi. padahal kita tetaap bisa menjadi teman biasa. sebagai lelaki aku tak mungkin mencintai wanita yang mencintai lelaki lain. tapi sebagai lelaki aku tak mungkin membenci wanita yang pernah kusayangi. bahkan, aku ingin menjadi sahabatnya. mendengarkan cerita indah tentang cerita cintanya dengan lelaki itu. that's all. apakah harapanku ini berlebihan? entahlah, hanya kau yang bisa menjawabnya.
Aku harap kau tidak akan pernah meminta maaf padaku. karena bagiku, ini bukan kesalahanmu. bukan juga kesalahanku. ini hanyalah masalah takdir yang harus dijawab oleh sang waktu. kekecewaan memang masih mengendap di hatiku, tapi kau bisa menghilangkannya jika kau menjadi temanku dan menceritakan kisahmu dengannya padaku. meskipun cerita itu palsu.
akhirnya, kuucapkan terimakasih karena kau pernah menjadi pelita hatiku. pernah menjadi alasan mengapa aku harus giat bekerja. pernah menjadi inspirasi atas lahirnya kata-kata yang sebelumnya hanya ada dikepala tanpa bisa terbaca karena aku tak mampu merumuskannya. terimakasih sudah pernah membuatku merasa menjadi manusia yang bisa mendengarkan kata hati orang lain. terimakasih sudah membuatku belajar mengenal simpati dan empati. terimakasih sudah membimbingku memaahami, bahwa dalam hidup ini yang ada bukan hanya benar dan salah, tapi juga tentang menjaga perasaan orang yang kita sayangi.
Comments
Post a Comment