MATA



Oleh : Ichsan Muttaqin

Tangan Sariem tak henti bergetar. Canting di tangannya terasa berkali-kali lipat lebih berat. Saat ia mulai yakin mata canting telah menempel tepat pada motif yang tergambar dengan pensil di kian mori, malam di ujung canting itu telah mengeras. Terpaksa Sariem memasukkan kembali malam yang mengeras itu ke wajan. Bahkan, kepala canting ikut dibenamkan ke dalam wajan yang terjerang di atas tunggku membara agar malam di kepala canting mencair kembali.

Hampir satu jam hal yang sama terus berulang. Selama itu pula, tak segurat malam-pun yang berhasil terlukiskan di atas mori putih di pangkuannya. Ada kabut yang menutupi sebelah matanya. Sementara sebelah matanya lagi, telah lama buta.

Perlahan, air mata yang sejak lama menggenang di dua ceruk matanya menetes. Terasa kepedihan di matanya, dan kepedihan yang lebih berat terasa di hatinya.

"Istirahat dulu, yem," ujar Ginah. "Ini sudah larut malam. Nanti kamu malah sakit. Lagi pula senthirnya sudah hampir kehabisan minyak," lanjut wanita renta itu membujuk anaknya.

"Sebentar lagi, mbok. Tinggal satu kain lagi yang harus kuselesaikan. Tadi sore, bu Lurah bilang kalau besok pagi harus disetorkan," ujar Sariyem sambil menahan isaknya.

Terpaksa Sariem harus membohongi ibunya. Sebenarnya Bu Lurah tak pernah datang sore tadi. Tapi keadaan di rumah memaksanya harus bisa setor kain esok pagi. Jika tidak, esok mereka takkan bisa menanak nasi.

Sejak dua tahun terakhir, Sariem harus menanggung nafkah keluarga seorang diri. Satu-satunya anak yang bisa membantunya mengais rejeki telah kehilangan penglihatan. Anak yang kedua, tapi menjadi satu-satunya yang tersisa.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi syaraf-syaraf matanya terlalu lemah dan tidak kuat menahan lensa. Kami tidak bisa menghindari kehendak Yang Maha Kuasa. Anak ibu mungkin akan buta selamanya," demikian penjelasan dokter spesialis di sebuah RS Spesialis Penyakit mata yang sangat terkenal di Kota Jogja usai mengoperasi mata Sabri dua tahun silam.

Tak ada kata-kata yang bisa diucapkan Sariem ketika dokter menghakimi nasib anak kesayangannya. Ia bahkan tak bisa merasakan apapun, bahkan rasa sakit dan getir tak sempat singgah di hatinya. Semua menjadi hampa. Sariyem lupa keberadaannya.

"Ah Sabri, malang sekali nasibmu," gumam Sariem sambil untuk kesekian kali berusaha menggoreskan malam di ujung cantingnya pada mori. Pikirannya terus berkelana. Sedang air mata tak henti mengalir meski tak lagi diiringi isak menyiksa.

Sungguh, selama ini Sariem tak pernah meratapi nasibnya sendiri. Ia sempat terpukul ketika menyadari mata kirinya buta akibat terkena cipratan miyak panas dari penggorengan. Tapi itu tak terlalu dipedulikan. Toh aku masih punya sebiji mata sehat yang bisa kugunakan untuk melihat. Aku masih bisa membatik. Demikian pikir Sariem waktu itu.

Lagi pula, ia tak perlu memikirkan perasaan sang suami. Tak perlu takut kehilangan rasa cinta karena sudah tiga tahun pria yang memenangkan hatinya meninggal dunia. Selain itu, Sabri sudah belajar bekerja dan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarga.

Namun takdir, kalau memang itu takdir, berkata lain. Entah mengapa, pandangan kedua mata Sabri tiba-tiba meredup. 

"Kok rasanya mataku berkabut, ya, mbok," celetuk Sabri waktu itu.

Awalnya, mereka menanggapi itu biasa saja. Namun setelah dua minggu, kabut di mata Sabri makin pekat. Sinar matanya semakin redup. Dan setiap pagi dan sore hari, ia tak bisa membedakan gelap atau gemerlap.

"Biaya operasi, obat dan perawatan Rp 10 juta. Bisa bayar Rp 1 juta dulu. Sementara sisanya bisa dibayar setelah operasi selesai," ujar petugas administrasi Rumah Sakit setelah membaca hasil pemeriksaan awal pada mata Sabri.

Tanpa pikir panjang, dua ekor kambing 'kacangan' warisan ayah Sabri dijual untuk porsekot biaya operasi. Sementara sisanya, dilunasi dengan uang hasil menjual sepetak sawah warisan keluarga. Tapi semua itu tak ada guna. Operasi justru merenggut semuanya.

Dalam lamunannya, tiba-tiba Sariem melihat cahaya gemerlap. Malam di wajan tak lagi hitam. Semua menjadi serba putih penyilaukan mata. Semua menjadi sewarna mori yang masih belum bermotif, belum berpola, belum ternoda. Semua menjadi putih, seputih kedua pupil bola matanya.

                                                                                                  Dimuat di Majalah EYD, Yogyakarta

Comments