Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Belum Dapatkan Perlindungan Semestinya

Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul belum memiliki selter perlindungan terhadanp anak dan perempuan korban kekerasan. Padahal, keberadaan selter sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang semakin tinggi di Bantul.

Petugas Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan keluarga Berencana (BKKPPKB) Kabupaten Bantul, Dwi Ratna Suprihastuti awal tahun lalu mengungkapkan, sejatinya keberadaan selter perlindungan sangat dibutuhkan. Alasannya, korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak memang membutuhkan tempat yang aman dari berbagai ancaman baik fisik maupun psikis.

Terlebih, pelaku umumnya merupakan orang terdekat korban, seperti orang tua, saudara hingga pacar. Dengan demikian, korban menjadi takamanlagi tinggal di rumahnya.

"Ya selter itu sebenarnya memang sangat dibutuhkan apalagi sampai saat ini Bantul belum sama sekali memiliki selter," tuturnya.

Akibat belum adanya selter, saat ini BKKPPKB terpaksa harus mengupayakan tempat perlindungan korban sendiri. Untungnya, mereka memiliki jaringan yangbaik di tingkat Provinsi.

“jika dilihat dari sisi keamanan korban, itu tidak berpengaruh. Tetapi cukup merepotkan. Baik untuk petugas maupun korban,” ujarnya.

Terlebih, lanjut Ratna, SKPDyang dulunya bernama BKKBN ini memiliki jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas. Demikian dengan sarana (transportasi,red) yang dibutuhkan untuk mengantarkan maupun memberikan pendampingan dan motovasi bagi korban.

Namun, meski pengadaan selter sangat dibutuhkan, pihaknya juga bisa memaklumi jika tak bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Terlebih, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan selter memang belum bisa dianggarkan.

“Butuh dana milyaran untuk membangun selter tersebut. Sebab selter harus memiliki lahan dan bangunan, perlengkapan sehari-hari, penjaga, fasilitas keamanan yang terjamin, maupun biaya untuk keberlangsungan operasional selter tersebut. Padahal alokasi dana sendiri diakuinya masih minim,” ujarnya. 

Sementara, dari data yang dimiliki oleh penulis yang sehari-hari bekerja sebagai wartawan di salah satu media cetak di bumi projotamansari, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bantul sangat jarang yang diselesaikan melalui jalur hukum. banyak diantara kasus yang diselesaikan dalam rembug kekeluargaan. bahkan untuk kasus yang dilaporkan sebagai kasus pemerkosaan dan pencabulan.

"kita mau menangani laporan yangsudah masuk. Tetapi kebanyakan ditengah-tengah proses, keluarga korban mencabut laporan. Alasannya, takut perkembangan mental anak terganggu. Atau demi menjaga nama baik keluarga," ujar Kasat Reskrim Polres Bantul, Alaal Prasetya usai terjadi kasus perkosaan yang menimpa gadis berusia 13 tahun di awal Februari lalu.

Akhir Februari lalu, sebuah kabar sempat mengejutkan penulis. 3 orang yang melakukan persetubuhan dengan gadis dibawah umur dibebaskan setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka. 

Alasan pembebasan-pun cukup sederhana. "karena si perempuannya juga mau," demikian ujar sumber terpercaya yang enggan identitasnya ditulis di media mana-pun terkait permasalahan ini.

Memang, jika dilihat dari undang-undang perlindungan anak, kasus tersebut tak bisa dimasukkan sebagai pelanggaran karena tidak ada unsur bujuk rayu maupun pemaksaan. Namun, jika dilihat dari perundangan lain,yakni KUHP Pasal 287 ayat 1, maka setidaknya ancaman 9 tahun penjara menanti para pelaku.

Demikian bunyi pasal tersebut, "Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (qin)





Comments