Saya ini, Ine
Tangan Ine begitu terampil memainkan pisau dapur untuk membuang helai demi helai daun kubis yang telah membusuk dari gulungannya. Dalam sekejab saja, sekeranjang kubis telah selesai ia bersihkan, namun di depan Ine masih menunggu dua keranjang kubis untuk dibersihkan. Ine menghela nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan keras ketika melihat tumpukan kubis dalam keranjang itu. “Jualan kok sepinya kaya’ gini”, keluh Ine dalam hati.
Ine menyeka keringat yang berleleran di kening dengan ujung kaus putih lengan panjangnya. Cuaca pagi menjelang siang pertengahan April di Ibu kota memang terasa sangat panas. Belum lagi ditambah dengan sumpeknya loss pasar serta kesibukan bekerja membuat keringat bercucuran dari sekujur tubuh dan wajah Ine.
Meskipun tangannya sibuk bekerja, namun pikiran Ine sedang mengembara jauh di kampung halamannya. Pada sebuah kampung yang terletak jauh di wilayah tenggara kabupaten Jawa Tengah. Terpaku pada seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang kini tinggal bersama kakek-neneknya yang mulai pikun.
Nama anak itu, fitri. Anak kedua Ine yang terlahir premateur tanpa bantuan dokter, bidan maupun dukun beranak. Anak yang lahir tanpa ditunggui oleh ayahnya yang terlalu sibuk bermain wanita di panti pijat tradisional plus-plus.
Dalam lamunannya, Ine mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana pertama kali ia melangkahkan kaki di Jakarta. Hanya dengan bermodalkan uang Dua ratus ribu rupiah, selembar ijazah SMP dan secarik kertas alamat kakak sulungnya. Ine berusaha mengingat alasan, mengapa ia memilih kamal untuk menjadi pendamping hidup meski tanpa persetujuan keluarganya.
*******
Sebagaimana layaknya seorang gadis dusun lainnya, Ine yang saat itu masih sangat hijau sangat tertarik melihat perubahan nasib kakak dan teman-temannya yang jauh berubah setelah merantau ke Ibu Kota. Belum lagi ditambah dengan hingar-bingar kehidupan kota Jakarta yang dapat ia lihat dari televisi yang ditontonnya di rumah Pak Kadus setiap lepas magrib. Maka setelah meluluskan pendidikan di bangku SMP, Ine nekad untuk menyusul kakak sulungnya ke Jakarta .
Sesampainya di Jakarta, Ine merasa kecewa. Kehidupan kakaknya yang selama ini ia sangka mewah, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Kakaknya yang setiap kali pulang kampung di hari lebaran mengenakan pakaian serba mewah, perhiasan-perhiasan mahal dan membawa banyak uang, ternyata hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil dengan satu kamar tidur. Sebuah rumah yang temboknya hanya setengah dengan kamar mandi yang dipakai bersama-sama. Dalam pandangan Ine, rumah ini lebih pas jika dikatakan sebagai rumah penampungan untuk korban banjir dari pada tempat tinggal.
Akan tetapi kekecewaan tak berlangsung lama. Empat bulan setelah tinggal di Jakarta, Ine mulai bisa merasakan sisi lain kehidupan jakarta yang selama ini hanya bisa disaksikannya melalui televisi. Setelah ia mengenal dekat tetangga-tetangga sepantaran. Dan tentu saja setelah ia berkenalan dengan seorang pemuda tampan bernama Kamal, Ine mulai merasa betah dan bisa menikmati kehidupan di Ibu Kota itu. Hampir setiap malam, bersama-sama dengan teman-teman barunya ini, Ine menjelajahi lorong-lorong pencakarlangit Jakarta. Melintasi satu mall ke mall yang lain, dari kafe satu ke kafe lain, dan dari diskotik satu kediskotik lain.
Meskipun sehari-hari pekerjaan Ine hanyalah penjual sayur di pasar – itupun hanya membantu kakak yang ia tumpangi hidup – , namun ia tak peduli. Seperti kata kawan-kawannya, “kita ini masih muda. Jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada kesan. Tanpa ada cerita yang bisa kita sampaikan kepada orang-orang udik yang ketinggalan jaman.” Dan ia-pun semakin larut dalam kehidupan yang sangat menyenangkan sekaligus membingungkan itu.
Benarlah kata orang-orang tua, bahwa “tresno iku jalaran saking kulina” (cinta datang karena telah terbiasa). Karena setiap hari bertemu dengan Kamal. Baik di pasar maupun di tempat-tempat tongkrongan, gadis ingusan itu pun jatuh hati pada jejaka satu ini. Bak gayung bersambut, ternyata kamal pun menanggapi apa yang dirasakan Ine.
Akan tetapi hubungan ini tidak di setujui oleh kakak Ine, berkali-kali kakak Ine menasehati agar ia menjauhi Kamal. Agar ia memutuskan hubungan. Menurut kakaknya, Kamal bukanlah orang yang pantas untuk dijadikan sebagai pacar. Selain suka keluyuran malam dan mabuk-mabukan, di kalangan orang-orang pasar kamal juga terkenal suka main perempuan. Tapi Ine tetap bergeming. Dalam hati ia berkata, “aku lebih tahu apa yang terbaik bagiku. Lagi pula setiap hari aku bertemu dia. Jadi aku lebih mengenal dia. Memang dia suka keluar malam dan mabuk-mabukan, tapi toh, tanpa sepengetahuan kalian aku juga sering melakukan. Tapi kalau kamal suka main wanita....jelas aku tak bisa percaya. Mana mungkin dia ada waktu untuk melakukan hal seperti itu. Siang hari ia sibuk kerja, sedangkan malamnya, bersamaku dan teman-teman sibuk menghirup habis hawa mistis ibu kota.”
Dan Ine pun tetap nekad meneruskan hubungannya dengan Kamal. walaupun secara sembunyi-sembunyi. Hingga suatu malam – tiga tahun setalah Ine tinggal di Jakarta – Ine meminta restu kepada kakaknya untuk menikah dengan Kamal.
“mbak, saya mau minta doa restu sama mbak. Saya mau menikah dengan Kamal, tadi siang Kamal melamar saya. Mbak setujukan”.
Mendengar kata-kata itu muka kakak Ine sontak merah padam. Kedua matanya yang bulat besar seolah hendak loncat dari rangganya.
“O…alah Neem-Nem, jadi selama ini kamu masih berhubungan dengan Kamal. Jadi kamu anggap apa omongan mbakayumu ini. Dari dulu mbakayumu ini sudah bilang. Jangan berhubungan dengan Kamal,” ceramah kakak Ine dengan muka bersungut-sungut. “Tapi terserah kalau kamu ngeyel, sekarang kamu sudah cukup dewasa dan bisa mencari uang sendiri. Yang jelas sebagai kakakmu aku sudah menasehati sejak dulu, jadi kalau ada apa-apa kelak jangan salahkan mbakayumu ini”. kata kakak Ine dengan nada putus asa menasehati adiknya.
Setahun menikah dengan kamal kehidupan rumah tanggga Ine berlangsung dengan sangat harmonis, apalagi setelah ‘Aldi’ anak pertama mereka lahir. Dari segi finansial pun kehidupan rumah tangga Ine mengalami peningkatan cukup significan. Bersama suaminya, Ine mampu membeli sebuah rumah yang jauh lebih baik dari rumah kontrakan kakaknya.
Akan tetapi kehidupan indah itu tidaklah berlangsung lama. Tidak lebih dari dua tahun. Setelah putra pertama mereka meninggal karena terserang muntaber, keharmonisan rumah tangga Ine tiba-tiba tinggal menjadi sejarah. Bahkan sejak saat itu, perilaku Kamal berubah dengan sangat drastis. Memang sejak awal menikah dengan Kamal, Ine tetap membiarkan suaminya untuk melakukan aktifitas masa mudanya. Begadang dan sesekali mabuk-mabukan. Semua itu tidaklah menjadi masalah buat Ine, karena biarpun demikian perhatian dan keharmonisan Kamal tidak berkurang sedikitpun terhadap Ine. Tetapi sekarang Kamal tak hanya suka pulang larut dan baru pulang menjelang adzan subuh berkumandang. Kini kamal menjadi malas bekerja. Setiap hari kerjaannya hanya meminta uang. Bahkan, uang yang seharusnya disetorkan pada juragan sayur pun ikut dilenyapkan. Dan yang lebih parah lagi, secara terang-terangan, kamal berani bermesraan bersama wanita lain di hadapannya. seorang gadis yang.
Gadis itu bernama Riska. Ia bertempat tinggal satu komplek dengan rumahnya. Bahkan, rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah rumah kecil berukuran 5x9 meter. Riska adalah seorang mahasiswi semester awal di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Namun demikian, Riska bukanlah gadis yang berasal dari keluarga berada. Ayah Riska yang asli Sunda sudah meninggal sejak Riska masih delapan bulan berada di dalam kandungan ibunya. Sedangkan ibunya, sejak kematian suaminya memilih bekerja sebagai penjual sayur di pasar yang sama dengan Ine. Mungkin karena keadaan ekonomi yang pas-pasan atau karena hanya dibesarkan oleh seorang ibu berwatak keras, Riska tumbuh menjadi seorang gadis yang pendiam. Sangat jelas dari tatapan matanya, rasa rindu untuk mendapatkan kasih sayang. Dan mungkin itu pulalah yang membuat ia mau menjalin hubungan romantisme dengan Kamal. Lelaki beranak istri yang lebih pantas menjadi pamannya.
Dan puncak dari rasa sakit hati Ine adalah ketika ia mengetahui bahwa kamal telah menikahi gadis itu secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan riska. Dan tanpa sepengetahuannya jika saja kamal tidak secara sembrono menceritakannya.
*******
“Ah…. mengapa dulu aku tidak pernah mau mendengarkan nasehat kedua orang tua serta kakak-kakakku agar tidak menikah degan Kamal. Kalau saja dulu aku menurut, pasti semuanya tidak akan terjadi,” desah Ine dalam hati. “Tapi kini nasi telah menjadi bubur, menyesalpun sudah terlambat. Duh Gusti, apa yang harus hambamu ini lakukan”.
Ine masih mengingat jelas bagaimana dulu ia berolok-olok hingga membuat kakak-kakaknya kecewa ketika baru empat bulan menikah dengan Kamal.
“Nah, mbak- mas lihat, saya sudah menikah dengan kang Kamal lebih dari empat bulan. Nyatanya nggak ada apa-apakan. Sampai sekarang keluarga saya tetap harmonis, bahkan sejak saya menikah dengan kang Kamal jualan saya di pasar tambah ramai”.
“Makanya jadi orang jangan suka kolot, siapa bilang perempuan........”
“Apa kamu bilang!” belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Mujiem, kakak Ine telah memotong, “mbakayumu ini kolot! Masyaallah Neem-Nem. Mbakayumu ini sudah merasakan kerasnya hidup di Jakarta sejak kamu masih netek sama simbok, bisa-bisanya kamu yang baru kemarin sore tinggal di Jakarta bilang aku kolot”. Sahut kakak sulung Ine yang selama tiga tahun menopang hidup Ine di Jakarta.
“Nem, aku ini sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Jakarta, dan selama itu pula aku sudah menggantungkan rejekiku dari berjualan sayur di pasar, jadi aku sudah paham betul bagaimana watak orang-orang pasar itu, termasuk suamimu Kamal”. Sambung Mujiem dengan emosi yang sudah mulai terkontrol. “Mbakayumu ini hanya tidak mau melihat adiknya menderita karena memilih pasangan hidup yang salah”.
“Tapi sudahlah semua sudah terjadi, dan kamu harus mengingat bahwa kami sudah menasehatimu. Jadi kalau terjadi sesuatu kelak, kamu jangan menyalahkan kami”. Sambung Mujiem menyelesaikan kata-kata nasehat terakhirnya.
*******
“Cabai merahnya sekilo berapa, mbak?” Tanya seorang pembeli yang menyadarkan Ine dari lamunannya.
“Oh… yang itu sekilonya delapan belas ribu. Mau minta berapa kilo, Bu?” Jawab Ine tanpa melihat wajah pembelinya.
“Eh…Inem ya! benarkan kamu Painem?” Teriak pembeli itu tiba-tiba ketika Ine mengangkat wajahnya. Sejenak wajah Ine memperlihatkan keterkejutan. Bukan karena mendengar teriakan pembelinya itu, tapi karena ia mendengar nama lengkapnya di panggil. Padahal sepengetahuannya, seisi pasar itu tidak ada seorang pun yang mengenal nama aslinya “Painem”, tentu saja kecuali kakaknya dan si Kamal.
“Hai…. Warti, ya! Wartiyati-kan! kamu ngapain di sini?” Seru Ine dengan wajah sumringah setelah berhasil mengenali wajah perempuan yang sedang berjongkok di hadapannya. Tanpa permisi dan basa-basi, Warti kemudian masuk ke dalam lapak sempit milik Ine. Keduanya saling berpelukan layaknya dua sahabat lama yang telah puluhan tahun terpisah. Dua putra –putri– dusun yang telah sekian lama terpisah. Mengadukan peruntungan pada kerasnya kehidupan Ibu Kota. Dan kini saat bertemu, mereka berbincang-bincang lama. Sekenanya.
“Nem, saya pulang dulu, ya. Besok sore saya main ke rumahmu buat nyambung obrolan kita. Bolehkan?” Pamit Warti sambil beranjak bangkit dan menyerahkan dua lembar uang limapuluh ribuan kepada Ine untuk membayar barang belanjaannya.
“Ya bolehlah, tapi kalau nanya rumahku sama tetangga jangan pakai nama Painem ntar tetanggaku ngak ada yang kenal. Tanya rumah Ine, begitu saja”. Jawab Ine sambil menyerahkan uang kembalian pada Warti.
“Wah.. jadi nama kota kamu Ine, kalau begitu kamu juga harus manggil saya Tiya, jangan Warti, oke”. Pinta Tiya atau Warti dengan tawa renyah sambil memasukkan uang kedalam dompet.
* * * * * * *
Jarum jam di dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun ine belum juga berhasil masuk ke dunia bawah sadarnya. Ia masih teringat pada kata-kata tamunya yang telah beranjak satu setengah jam lalu. “Sudah sejak dulu saya bilang sama kamu, semua laki-laki itu sama saja. Mereka hanya memanfaatkan wanita dan mementingkan diri sendiri, kalau sudah habis manisnya ‘ya’ dibuang,” kata Warti penuh semangat. “Makanya, jangan kasih hati sama laki-laki, apalagi laki-laki seperti suamimu. Kalau perlu kita tuntut dia di pengadilan dengan tuduhan kekerasan psikis, soal pengacara nanti biar teman saya yang mengurus”.
“Ah…Warti-Warti, sejak dulu kamu tidak pernah berubah. Masih saja kamu menaruh dendam pada laki-laki sampai-sampai kamu tidak berani menikah hingga umur menjelang tigapuluh tahun,” Bisik Ine dalam hati.
Ine menjadi teringat kembali bagaimana dulu – di kampung – Warti selalu menjadi bahan ejekan anak laki-laki. Dia selalu dikatakan sebagai anak haram karena dia memang terlahir tanpa bapak. Dia juga sangat ingat saat SMP Warti sering menangis di kelas saat pelajaran sejarah karena sering dicolek oleh Pak Margo. “Tapi sekarang zaman sudah berubah War, sekarang kamu sudah jadi orang penting, seorang aktivis nasional. Sekarang pasti tidak ada orang yang berani melecehkan kamu, bahkan mungkin mereka semua benar-benar takut sama kamu. Takut dalam artian sebenarnya”.
“Tapi War, bagaimanapun juga aku ini Ine, bukan kamu, Warti. Aku masih membutuhkan sentuhan seorang laki-laki. Memang Kamal telah berkali-kali menyakiti hatiku, tapi kini dia telah berubah bahkan dia telah menceraikan Riska isteri mudanya dan berniat kembali denganku. Memang aku sudah menggugat Kamal untuk bercerai, tapi itu atas permintaan kakak-kakak serta kedua orang tuaku, bukan karena keinginanku sendiri. Aku ini seorang ibu dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil, kalau aku bercerai dengan Kamal bagaimana aku menjawab jika mereka bertanya tentang bapaknya. Aku ini Ine bukan kamu Warti, dan besok pagi aku akan menarik gugatan ceraiku di pengadilan agama, karena aku wanita, karena aku Ine”.
Ine menyeka keringat yang berleleran di kening dengan ujung kaus putih lengan panjangnya. Cuaca pagi menjelang siang pertengahan April di Ibu kota memang terasa sangat panas. Belum lagi ditambah dengan sumpeknya loss pasar serta kesibukan bekerja membuat keringat bercucuran dari sekujur tubuh dan wajah Ine.
Meskipun tangannya sibuk bekerja, namun pikiran Ine sedang mengembara jauh di kampung halamannya. Pada sebuah kampung yang terletak jauh di wilayah tenggara kabupaten Jawa Tengah. Terpaku pada seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang kini tinggal bersama kakek-neneknya yang mulai pikun.
Nama anak itu, fitri. Anak kedua Ine yang terlahir premateur tanpa bantuan dokter, bidan maupun dukun beranak. Anak yang lahir tanpa ditunggui oleh ayahnya yang terlalu sibuk bermain wanita di panti pijat tradisional plus-plus.
Dalam lamunannya, Ine mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana pertama kali ia melangkahkan kaki di Jakarta. Hanya dengan bermodalkan uang Dua ratus ribu rupiah, selembar ijazah SMP dan secarik kertas alamat kakak sulungnya. Ine berusaha mengingat alasan, mengapa ia memilih kamal untuk menjadi pendamping hidup meski tanpa persetujuan keluarganya.
*******
Sebagaimana layaknya seorang gadis dusun lainnya, Ine yang saat itu masih sangat hijau sangat tertarik melihat perubahan nasib kakak dan teman-temannya yang jauh berubah setelah merantau ke Ibu Kota. Belum lagi ditambah dengan hingar-bingar kehidupan kota Jakarta yang dapat ia lihat dari televisi yang ditontonnya di rumah Pak Kadus setiap lepas magrib. Maka setelah meluluskan pendidikan di bangku SMP, Ine nekad untuk menyusul kakak sulungnya ke Jakarta .
Sesampainya di Jakarta, Ine merasa kecewa. Kehidupan kakaknya yang selama ini ia sangka mewah, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Kakaknya yang setiap kali pulang kampung di hari lebaran mengenakan pakaian serba mewah, perhiasan-perhiasan mahal dan membawa banyak uang, ternyata hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil dengan satu kamar tidur. Sebuah rumah yang temboknya hanya setengah dengan kamar mandi yang dipakai bersama-sama. Dalam pandangan Ine, rumah ini lebih pas jika dikatakan sebagai rumah penampungan untuk korban banjir dari pada tempat tinggal.
Akan tetapi kekecewaan tak berlangsung lama. Empat bulan setelah tinggal di Jakarta, Ine mulai bisa merasakan sisi lain kehidupan jakarta yang selama ini hanya bisa disaksikannya melalui televisi. Setelah ia mengenal dekat tetangga-tetangga sepantaran. Dan tentu saja setelah ia berkenalan dengan seorang pemuda tampan bernama Kamal, Ine mulai merasa betah dan bisa menikmati kehidupan di Ibu Kota itu. Hampir setiap malam, bersama-sama dengan teman-teman barunya ini, Ine menjelajahi lorong-lorong pencakarlangit Jakarta. Melintasi satu mall ke mall yang lain, dari kafe satu ke kafe lain, dan dari diskotik satu kediskotik lain.
Meskipun sehari-hari pekerjaan Ine hanyalah penjual sayur di pasar – itupun hanya membantu kakak yang ia tumpangi hidup – , namun ia tak peduli. Seperti kata kawan-kawannya, “kita ini masih muda. Jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada kesan. Tanpa ada cerita yang bisa kita sampaikan kepada orang-orang udik yang ketinggalan jaman.” Dan ia-pun semakin larut dalam kehidupan yang sangat menyenangkan sekaligus membingungkan itu.
Benarlah kata orang-orang tua, bahwa “tresno iku jalaran saking kulina” (cinta datang karena telah terbiasa). Karena setiap hari bertemu dengan Kamal. Baik di pasar maupun di tempat-tempat tongkrongan, gadis ingusan itu pun jatuh hati pada jejaka satu ini. Bak gayung bersambut, ternyata kamal pun menanggapi apa yang dirasakan Ine.
Akan tetapi hubungan ini tidak di setujui oleh kakak Ine, berkali-kali kakak Ine menasehati agar ia menjauhi Kamal. Agar ia memutuskan hubungan. Menurut kakaknya, Kamal bukanlah orang yang pantas untuk dijadikan sebagai pacar. Selain suka keluyuran malam dan mabuk-mabukan, di kalangan orang-orang pasar kamal juga terkenal suka main perempuan. Tapi Ine tetap bergeming. Dalam hati ia berkata, “aku lebih tahu apa yang terbaik bagiku. Lagi pula setiap hari aku bertemu dia. Jadi aku lebih mengenal dia. Memang dia suka keluar malam dan mabuk-mabukan, tapi toh, tanpa sepengetahuan kalian aku juga sering melakukan. Tapi kalau kamal suka main wanita....jelas aku tak bisa percaya. Mana mungkin dia ada waktu untuk melakukan hal seperti itu. Siang hari ia sibuk kerja, sedangkan malamnya, bersamaku dan teman-teman sibuk menghirup habis hawa mistis ibu kota.”
Dan Ine pun tetap nekad meneruskan hubungannya dengan Kamal. walaupun secara sembunyi-sembunyi. Hingga suatu malam – tiga tahun setalah Ine tinggal di Jakarta – Ine meminta restu kepada kakaknya untuk menikah dengan Kamal.
“mbak, saya mau minta doa restu sama mbak. Saya mau menikah dengan Kamal, tadi siang Kamal melamar saya. Mbak setujukan”.
Mendengar kata-kata itu muka kakak Ine sontak merah padam. Kedua matanya yang bulat besar seolah hendak loncat dari rangganya.
“O…alah Neem-Nem, jadi selama ini kamu masih berhubungan dengan Kamal. Jadi kamu anggap apa omongan mbakayumu ini. Dari dulu mbakayumu ini sudah bilang. Jangan berhubungan dengan Kamal,” ceramah kakak Ine dengan muka bersungut-sungut. “Tapi terserah kalau kamu ngeyel, sekarang kamu sudah cukup dewasa dan bisa mencari uang sendiri. Yang jelas sebagai kakakmu aku sudah menasehati sejak dulu, jadi kalau ada apa-apa kelak jangan salahkan mbakayumu ini”. kata kakak Ine dengan nada putus asa menasehati adiknya.
Setahun menikah dengan kamal kehidupan rumah tanggga Ine berlangsung dengan sangat harmonis, apalagi setelah ‘Aldi’ anak pertama mereka lahir. Dari segi finansial pun kehidupan rumah tangga Ine mengalami peningkatan cukup significan. Bersama suaminya, Ine mampu membeli sebuah rumah yang jauh lebih baik dari rumah kontrakan kakaknya.
Akan tetapi kehidupan indah itu tidaklah berlangsung lama. Tidak lebih dari dua tahun. Setelah putra pertama mereka meninggal karena terserang muntaber, keharmonisan rumah tangga Ine tiba-tiba tinggal menjadi sejarah. Bahkan sejak saat itu, perilaku Kamal berubah dengan sangat drastis. Memang sejak awal menikah dengan Kamal, Ine tetap membiarkan suaminya untuk melakukan aktifitas masa mudanya. Begadang dan sesekali mabuk-mabukan. Semua itu tidaklah menjadi masalah buat Ine, karena biarpun demikian perhatian dan keharmonisan Kamal tidak berkurang sedikitpun terhadap Ine. Tetapi sekarang Kamal tak hanya suka pulang larut dan baru pulang menjelang adzan subuh berkumandang. Kini kamal menjadi malas bekerja. Setiap hari kerjaannya hanya meminta uang. Bahkan, uang yang seharusnya disetorkan pada juragan sayur pun ikut dilenyapkan. Dan yang lebih parah lagi, secara terang-terangan, kamal berani bermesraan bersama wanita lain di hadapannya. seorang gadis yang.
Gadis itu bernama Riska. Ia bertempat tinggal satu komplek dengan rumahnya. Bahkan, rumah mereka hanya dipisahkan oleh sebuah rumah kecil berukuran 5x9 meter. Riska adalah seorang mahasiswi semester awal di sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Namun demikian, Riska bukanlah gadis yang berasal dari keluarga berada. Ayah Riska yang asli Sunda sudah meninggal sejak Riska masih delapan bulan berada di dalam kandungan ibunya. Sedangkan ibunya, sejak kematian suaminya memilih bekerja sebagai penjual sayur di pasar yang sama dengan Ine. Mungkin karena keadaan ekonomi yang pas-pasan atau karena hanya dibesarkan oleh seorang ibu berwatak keras, Riska tumbuh menjadi seorang gadis yang pendiam. Sangat jelas dari tatapan matanya, rasa rindu untuk mendapatkan kasih sayang. Dan mungkin itu pulalah yang membuat ia mau menjalin hubungan romantisme dengan Kamal. Lelaki beranak istri yang lebih pantas menjadi pamannya.
Dan puncak dari rasa sakit hati Ine adalah ketika ia mengetahui bahwa kamal telah menikahi gadis itu secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan riska. Dan tanpa sepengetahuannya jika saja kamal tidak secara sembrono menceritakannya.
*******
“Ah…. mengapa dulu aku tidak pernah mau mendengarkan nasehat kedua orang tua serta kakak-kakakku agar tidak menikah degan Kamal. Kalau saja dulu aku menurut, pasti semuanya tidak akan terjadi,” desah Ine dalam hati. “Tapi kini nasi telah menjadi bubur, menyesalpun sudah terlambat. Duh Gusti, apa yang harus hambamu ini lakukan”.
Ine masih mengingat jelas bagaimana dulu ia berolok-olok hingga membuat kakak-kakaknya kecewa ketika baru empat bulan menikah dengan Kamal.
“Nah, mbak- mas lihat, saya sudah menikah dengan kang Kamal lebih dari empat bulan. Nyatanya nggak ada apa-apakan. Sampai sekarang keluarga saya tetap harmonis, bahkan sejak saya menikah dengan kang Kamal jualan saya di pasar tambah ramai”.
“Makanya jadi orang jangan suka kolot, siapa bilang perempuan........”
“Apa kamu bilang!” belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Mujiem, kakak Ine telah memotong, “mbakayumu ini kolot! Masyaallah Neem-Nem. Mbakayumu ini sudah merasakan kerasnya hidup di Jakarta sejak kamu masih netek sama simbok, bisa-bisanya kamu yang baru kemarin sore tinggal di Jakarta bilang aku kolot”. Sahut kakak sulung Ine yang selama tiga tahun menopang hidup Ine di Jakarta.
“Nem, aku ini sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Jakarta, dan selama itu pula aku sudah menggantungkan rejekiku dari berjualan sayur di pasar, jadi aku sudah paham betul bagaimana watak orang-orang pasar itu, termasuk suamimu Kamal”. Sambung Mujiem dengan emosi yang sudah mulai terkontrol. “Mbakayumu ini hanya tidak mau melihat adiknya menderita karena memilih pasangan hidup yang salah”.
“Tapi sudahlah semua sudah terjadi, dan kamu harus mengingat bahwa kami sudah menasehatimu. Jadi kalau terjadi sesuatu kelak, kamu jangan menyalahkan kami”. Sambung Mujiem menyelesaikan kata-kata nasehat terakhirnya.
*******
“Cabai merahnya sekilo berapa, mbak?” Tanya seorang pembeli yang menyadarkan Ine dari lamunannya.
“Oh… yang itu sekilonya delapan belas ribu. Mau minta berapa kilo, Bu?” Jawab Ine tanpa melihat wajah pembelinya.
“Eh…Inem ya! benarkan kamu Painem?” Teriak pembeli itu tiba-tiba ketika Ine mengangkat wajahnya. Sejenak wajah Ine memperlihatkan keterkejutan. Bukan karena mendengar teriakan pembelinya itu, tapi karena ia mendengar nama lengkapnya di panggil. Padahal sepengetahuannya, seisi pasar itu tidak ada seorang pun yang mengenal nama aslinya “Painem”, tentu saja kecuali kakaknya dan si Kamal.
“Hai…. Warti, ya! Wartiyati-kan! kamu ngapain di sini?” Seru Ine dengan wajah sumringah setelah berhasil mengenali wajah perempuan yang sedang berjongkok di hadapannya. Tanpa permisi dan basa-basi, Warti kemudian masuk ke dalam lapak sempit milik Ine. Keduanya saling berpelukan layaknya dua sahabat lama yang telah puluhan tahun terpisah. Dua putra –putri– dusun yang telah sekian lama terpisah. Mengadukan peruntungan pada kerasnya kehidupan Ibu Kota. Dan kini saat bertemu, mereka berbincang-bincang lama. Sekenanya.
“Nem, saya pulang dulu, ya. Besok sore saya main ke rumahmu buat nyambung obrolan kita. Bolehkan?” Pamit Warti sambil beranjak bangkit dan menyerahkan dua lembar uang limapuluh ribuan kepada Ine untuk membayar barang belanjaannya.
“Ya bolehlah, tapi kalau nanya rumahku sama tetangga jangan pakai nama Painem ntar tetanggaku ngak ada yang kenal. Tanya rumah Ine, begitu saja”. Jawab Ine sambil menyerahkan uang kembalian pada Warti.
“Wah.. jadi nama kota kamu Ine, kalau begitu kamu juga harus manggil saya Tiya, jangan Warti, oke”. Pinta Tiya atau Warti dengan tawa renyah sambil memasukkan uang kedalam dompet.
* * * * * * *
Jarum jam di dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun ine belum juga berhasil masuk ke dunia bawah sadarnya. Ia masih teringat pada kata-kata tamunya yang telah beranjak satu setengah jam lalu. “Sudah sejak dulu saya bilang sama kamu, semua laki-laki itu sama saja. Mereka hanya memanfaatkan wanita dan mementingkan diri sendiri, kalau sudah habis manisnya ‘ya’ dibuang,” kata Warti penuh semangat. “Makanya, jangan kasih hati sama laki-laki, apalagi laki-laki seperti suamimu. Kalau perlu kita tuntut dia di pengadilan dengan tuduhan kekerasan psikis, soal pengacara nanti biar teman saya yang mengurus”.
“Ah…Warti-Warti, sejak dulu kamu tidak pernah berubah. Masih saja kamu menaruh dendam pada laki-laki sampai-sampai kamu tidak berani menikah hingga umur menjelang tigapuluh tahun,” Bisik Ine dalam hati.
Ine menjadi teringat kembali bagaimana dulu – di kampung – Warti selalu menjadi bahan ejekan anak laki-laki. Dia selalu dikatakan sebagai anak haram karena dia memang terlahir tanpa bapak. Dia juga sangat ingat saat SMP Warti sering menangis di kelas saat pelajaran sejarah karena sering dicolek oleh Pak Margo. “Tapi sekarang zaman sudah berubah War, sekarang kamu sudah jadi orang penting, seorang aktivis nasional. Sekarang pasti tidak ada orang yang berani melecehkan kamu, bahkan mungkin mereka semua benar-benar takut sama kamu. Takut dalam artian sebenarnya”.
“Tapi War, bagaimanapun juga aku ini Ine, bukan kamu, Warti. Aku masih membutuhkan sentuhan seorang laki-laki. Memang Kamal telah berkali-kali menyakiti hatiku, tapi kini dia telah berubah bahkan dia telah menceraikan Riska isteri mudanya dan berniat kembali denganku. Memang aku sudah menggugat Kamal untuk bercerai, tapi itu atas permintaan kakak-kakak serta kedua orang tuaku, bukan karena keinginanku sendiri. Aku ini seorang ibu dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil, kalau aku bercerai dengan Kamal bagaimana aku menjawab jika mereka bertanya tentang bapaknya. Aku ini Ine bukan kamu Warti, dan besok pagi aku akan menarik gugatan ceraiku di pengadilan agama, karena aku wanita, karena aku Ine”.
Comments
Post a Comment