RUMAH DI UJUNG SENJA
Setelah malam menjadi selarut ini, tiba-tiba kau menjerit, berkata aku ingin pulang, kembali ke rumah yang dulu kau tinggalkan, rumah yang penuh retakan di dinding, di antara suara sumbang teriak orang-orang yang telah berjasa mengantarmu ke dunia. Lalu melumuri dirimu dengan sumpah serapah yang membuat jiwa hampir binasa.
Tapi di sanalah tempat satu-satunya kau kembali. Mengais setiap jejak. setiap tapak yang menikam luka hingga semakin nganga. Membiru, sebiru bibirmu yang penuh racun, penuh tipu.
Dan aku akan menyusup di setiap desah nafasmu. Menyusuri rongga-rongga dan tiap jengkal kesadaran yang tertanam. Di rahimmu. Di batas sadarmu. Hingga aku melihat degub jantung yang semakin bergemuruh. Dan desir darah yang menyemburat di wajah.
Mungkin kau takkan pernah mengerti. Arti cinta, hidup dan kehidupan. Seperti aku yang lelah berfikir, lelah melihat kenyataan yang terlalu jelas, tapi tak pernah kita acuhkan. Seperti aku yang lelah berjalan, mengetahui arah, namun tak kuasa melangkah di atas jalur yang diinginkan.
Mungkin kau telah lelah menelaah setiap kata yang terucap hingga mulut berbusa. Mengatakan kebenaran-kebenaran yang bahkan hatimu-pun tak pernah bisa menerima. Karena kebenaran bagimu bukanlah realita yang tertangkap oleh indra. Bukan doktrin-doktrin yang dijejalkan ke dalam pikiran manusia, oleh manusia. Bukan pula referensi dari berlembar-lembar kitab suci yang kau baca setiap hari.
Dan akupun tahu kau akan tetap melangkah menuju rumah yang telah kau tinggalkan selama ini. Rumah yang penuh retakan-retakan di dinding. Retakan yang kau ukir sendiri. Rumah yang berdiri di ujung senja. Tempat di mana kau bisa menunggu matahari yang akan menjemputmu untuk kembali.
Tapi di sanalah tempat satu-satunya kau kembali. Mengais setiap jejak. setiap tapak yang menikam luka hingga semakin nganga. Membiru, sebiru bibirmu yang penuh racun, penuh tipu.
Dan aku akan menyusup di setiap desah nafasmu. Menyusuri rongga-rongga dan tiap jengkal kesadaran yang tertanam. Di rahimmu. Di batas sadarmu. Hingga aku melihat degub jantung yang semakin bergemuruh. Dan desir darah yang menyemburat di wajah.
Mungkin kau takkan pernah mengerti. Arti cinta, hidup dan kehidupan. Seperti aku yang lelah berfikir, lelah melihat kenyataan yang terlalu jelas, tapi tak pernah kita acuhkan. Seperti aku yang lelah berjalan, mengetahui arah, namun tak kuasa melangkah di atas jalur yang diinginkan.
Mungkin kau telah lelah menelaah setiap kata yang terucap hingga mulut berbusa. Mengatakan kebenaran-kebenaran yang bahkan hatimu-pun tak pernah bisa menerima. Karena kebenaran bagimu bukanlah realita yang tertangkap oleh indra. Bukan doktrin-doktrin yang dijejalkan ke dalam pikiran manusia, oleh manusia. Bukan pula referensi dari berlembar-lembar kitab suci yang kau baca setiap hari.
Dan akupun tahu kau akan tetap melangkah menuju rumah yang telah kau tinggalkan selama ini. Rumah yang penuh retakan-retakan di dinding. Retakan yang kau ukir sendiri. Rumah yang berdiri di ujung senja. Tempat di mana kau bisa menunggu matahari yang akan menjemputmu untuk kembali.
Comments
Post a Comment